“Siapa yang sesungguhnya jadi hamba Allah, sekali-kali tiada terikat kepada seseorang manusia, sebenar-benarnya merdekalah dia” (Kartini)

21 April adalah hari Kartini. Diambil dari bait pertama lagu wajib Kartini, kita panggil beliau dengan sebutan “ibu kita Kartini”. Artinya Ibunya anak-anak bangsa ini. Sudah selayaknya seorang anak mengenal ibunya sendiri. Kartini yang selama ini hanya kita kenal dari lagu dan foto, tak ayal jika sebagian kita hanya meniru yang terlihat dari fisiknya saja. Yaitu dengan berpakain kebaya saat momen peringatan hari Kartini. Apakah salah hanya meniru cara berpakaiannya saja? Tidak. Tapi lebih dari itu, sebaiknya kita dalami cara pandangnya, kita resapi perjuangannya dan kita urai pikirannya.

Sudah kita ketahui bersama bahwa beliau adalah pejuang emansipasi untuk memerdekakan kaum perempuan. Namun tahukah? bahwa sumber ‘pemberontakan’ beliau bermula dari keresahannya tentang adat dan agama. Di sini saya lebih tertarik melihat Kartini dari sudut pandang lain, yaitu sosok perempuan yang religius dan pemikir agama yang dianutnya, yaitu Islam. Apabila kita membaca buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” maka teranglah apa yang menjadi pikirannya tentang ajaran Islam yang diterimanya kala itu. Berikut kutipan surat beliau:

“Saudara si kulit putih… Tolonglah kami, melawan loba laki-laki yang ganas, yang semata-mata memikirikan dirinya sendiri itu, sipat loba iblis yang sepanjang masa mengazab menindas perempuan, sehingga, karena biasa disiksa, tiadalah lagi memandang siksaan lalim…”

“…sehingga dicambuknya hatiku supaya aku tegak berdiri melawan adat, kebiasaan yang jadi kutuk bagi perempuan dan anak-anak!”

“…aduh Tuhan, kejamnya!-agama Islam memperlindunginya, dipelihara oleh kebodohan perempuan korban jahat itu! Aduh, mengenangkan, akan datang nanti masanya, nasib untuk memaksa saya membantu keadan kejam itu, yang dinamakan “poligamy” itu. Aku tak mau!.”

Adakah kiranya Islam membenarkan kelakuan laki-laki yang disebutkan di atas? Tentulah kita sepakat. Itu dzolim. Begitulah yang disaksikan Kartini dimasa itu, yang membuat sesak dadanya ketika melihat realita perlakuan laki-laki terhadap perempuan. Bahwa kita musti tercengang, beliau katakan sendiri di lingkungan susuhunan (Surakarta), seorang laki-laki mempunyai lebih dari 26 orang perempuan.

“Akan agama Islam, Stella, tiada boleh kuceritakan. Agama Islam melarang umatnya mempercakapkannya dengan umat lain. Lagi pula, sebenarnya agamaku agama Islam, hanya karena nenek moyangku beragama Islam. Manakah boleh aku mengenalnya? Quran terlalu suci, tiada boleh diterjemahkan ke dalam bahasa manapun juapun. Di sini tiada orang tahu bahasa Arab. Orang di sini diajar membaca Quran, tetapi yang dibacanya itu tiada ia mengerti. Pikiranku, pekerjaan gilakah pekerjaan semacam itu, orang diajar di sini membaca Quran, tetap tidak diajarkan makna yang diajarkan yang dibacanya itu. Sama saja engkau mengajar aku membaca kitab bahasa Inggris, aku harus hafal semuanya, sedangkan tiada sepatah kata juapun yang kau terangkan artinya kepadaku. Sekalipun tiada jadi orang saleh, kan boleh juga orang jadi orang baik hati, bukan Stella?”

Di surat tersebut jelas sekali, seorang Kartini mengkritik cara pengajaran Al-Qur’an dimasanya. Qur’an tidak boleh diterjemahkan dalam bahasa lain, sehingga orang Islam di Jawa yang tidak mengerti bahasa Arab tidak tahu isi yang terkandung. Lalu, di surat lain Kartini menunjukkan keinginannya untuk mempelajari Al-Quran bilalah diberikan artinya.

“Aku tiada hendak lagi belajar Qur’an, belajar menghapalkan amtsal dengan bahasa asing, yang aku tiada mengerti artinya, dan boleh jadi juga guruku, laki-laki perempuan tiada mengerti. “katakanlah kepadaku artinya, akupun akan hendak mempelajari barang apa saja”. Aku berdosa: kitab yang suci mulia itu terlalu suci, sehingga tiadalah boleh diartikan kepada kami.”

Kartini hidup dalam lingkungan bangsawan yang dipandang keluarga paling maju kala itu dan dididik di sekolah Belanda yang berada di Jepara. Pergaulan semasa sekolah dengan orang-orang Belanda dan juga dari relasi Ayahnya yang seorang Bupati Jepara membuat beliau mempunyai akses untuk berdialog dengan orang Belanda. Kekaguman beliau tentang kemajuan peradaban Eropa tidaklah membuat goyah imannya. Mengenai Zending Belanda yang mempunyai misi untuk menyebarkan agama Nasrani kala itu, beliau mempunyai sikap tersendiri. Dan berikut kutipan tulisan beliau tentang zending itu:

“Jika orang hendak mengajarkan agama juga kepada orang Jawa, ajarlah ia mengenal Tuhan Yang Esa,…” kemudian dilanjutkan uraian panjang lalu ditutup dengan sikap tegas “pendek kata: usahakanlah zending itu – tetapi tidak dengan menasranikan orang!”

Betapapun kegelisahan beliau terhadap perilaku orang Islam yang jauh dari ajaran sesungguhnya, namun beliau sangat mencintai agamanya. Bahkan berusaha menjadi “agen muslim yang baik”.

“Supaya nyonya jangan ragu-ragu, marilah saya katakan ini saja dahulu: yakinlah nyoya, kami akan tetap memeluk agama kami yang sekarang ini. Serta dengan nyonya kami berharap dengan senangnya, moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama kami patut disukai”.

Wahai perempuan bumi putera, kamukah Kartini itu?

 

Oleh: Nanang Gesang Wahyudi, M.Pd