STITUSA BANJARNEGARA

Kuliah atau Bekerja? FGD Ungkap Rendahnya Minat Pendidikan Tinggi di Banjarnegara

Banjarnegara (5/7/2025) – Minimnya minat lulusan SMA/SMK di Banjarnegara untuk melanjutkan kuliah menjadi sorotan utama dalam Forum Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh mahasiswa Program Studi Manajemen Pendidikan Islam STIT Tunas Bangsa Banjarnegara. Bertempat di Rumah Baca Purnama Cikura, diskusi yang mengusung tema “Kuliah atau Bekerja? Menyusun Ulang Strategi Pendidikan Banjarnegara” ini menghadirkan dua narasumber ahli serta diikuti 37 peserta lintas sekolah dan perguruan tinggi.

Diskusi dibuka dengan paparan Indra Hari Purnama, pendiri Rumah Baca Purnama dan jurnalis senior, yang menyoroti persoalan rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Banjarnegara. “Rata-rata lama sekolah di Banjarnegara masih sekitar 6 tahun, setara dengan lulusan SD. Ini menunjukkan urgensi membangun budaya kuliah di desa,” ujarnya.

Indra menyampaikan bahwa meski Banjarnegara memiliki potensi lokal seperti pertanian dan wisata, rendahnya kesadaran akan pentingnya pendidikan tinggi memperparah kondisi ekonomi dan sosial masyarakat. “Sering kali, bukan biaya kuliah yang mahal, tapi gaya hidup mahasiswa yang tidak realistis. Banyak yang kuliah hanya demi ijazah, bukan karena panggilan ilmu,” tegasnya.

Narasumber kedua, Taufik Hidayat, seorang pendidik dan jurnalis, membagikan pengalamannya lintas jurusan dari SMK ke perguruan tinggi. Ia menekankan pentingnya membangun semangat belajar sepanjang hayat. “Tidak perlu bingung pilih kerja atau kuliah. Kalau bisa, ya langsung lanjut S1, S2, bahkan S3. Pendidikan tidak pernah sia-sia,” katanya.

Para peserta FGD, mayoritas siswa SMK dan MA serta perwakilan BEM kampus di Banjarnegara, aktif bertanya dan menyampaikan kegelisahan mereka. Salah satunya terkait kurangnya informasi beasiswa di pelosok desa. Menanggapi hal ini, Taufik menegaskan bahwa akses informasi masih timpang. “KIP Kuliah memang bisa diakses, tapi sosialisasi belum menjangkau semua wilayah. Bahkan dana kadang tidak cair meskipun sudah lolos seleksi,” tambahnya.

Agus Solekhun, peserta FGD, juga mengangkat pertanyaan penting tentang peran pemerintah daerah dalam isu ini. Menurut Indra, “Banjarnegara masih dianggap kota pensiunan dengan UMK terendah se-Jawa Tengah. Pemerintah perlu hadir bukan hanya dalam bentuk bantuan dana, tapi strategi kebijakan afirmatif dan kampanye sadar kuliah.”

FGD ini menghasilkan beberapa rekomendasi strategis, di antaranya:

  1. Perluasan akses informasi beasiswa melalui media digital dan literasi komunitas.
  2. Penguatan kolaborasi antara sekolah, kampus, dan komunitas literasi lokal.
  3. Pembentukan agen-agen perubahan (role model akademik) di desa-desa.
  4. Optimalisasi peran pemerintah dalam fasilitasi pembiayaan dan akses kuliah.

Acara ditutup dengan pembacaan hasil diskusi, pemberian plakat kepada narasumber, dan sesi foto bersama. Kegiatan ini diharapkan menjadi awal gerakan sadar pendidikan di Banjarnegara.

“FGD ini bukan hanya forum diskusi, tapi panggilan moral untuk mengubah wajah pendidikan Banjarnegara dari desa,” tutup moderator acara, Alfiyah Zahro W.

Scroll to Top